Etika Penggunaan AI dalam Seni Rupa
Pendahuluan
AI (Artificial Intelligence) merupakan sebuah kecerdasan buatan yang diterapkan pada komputer, mesin, ataupun sistem yang diciptakan untuk melakukan tugas yang memerlukan kecerdasan manusia. AI menggunakan teknik deep learning, machine learning, fuzzy logic, dan sistem pakar untuk mengolah sebuah informasi menjadi kecerdasan buatan. Salah satu kecerdasan buatan yang paling terkenal adalah Chat Generative Pre-trained Transformer (ChatGPT), ChatGPT merupakan kecerdasan buatan yang mengaplikasikan teknik deep learning dalam bentuk percakapan teks. ChatGPT dapat membuatkan sebuah informasi, saran, rencana, bahkan sebuah karya tulis ilmiah seperti makalah atau jurnal untuk penggunanya. Meskipun begitu, ChatGPT masih jauh dari kata sempurna karena beberapa jawaban yang diberikan biasanya tidak sesuai dengan fakta yang ada. Contohnya pada saat Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, menggunakan ChatGPT untuk menanyakan perihal pemilu, namun beberapa pertanyaan dijawab dengan keliru (Mediana, 2023). Hal tersebut menjadikan ChatGPT sebagai kecerdasan buatan yang tidak dapat sepenuhnya terjamin kebenarannya.
Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani, ethicos, yang berarti susila, keadaban, kelakuan, atau perbuatan yang baik. Objek material etika adalah tingkah laku dan perbuatan manusia. Perbuatan yang dimaksud merujuk pada perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar dan bebas. Etika berkaitan erat dengan baik-jahat dan nilai-nilai moral. Etika merupakan pengetahuan untuk menilai perbuatan manusia dalam berperilaku.
Etika Penggunaan AI dalam Seni Rupa
Dalam konteks penggunaan AI di bidang seni rupa, etika tentu saja sangat diperlukan. Hal ini merujuk pada pelanggaran hak cipta yang sering terjadi pada kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan gambar hanya dengan menggunakan promt saja (AI Generative Image). AI Generatif mengambil dataset dari karya-karya seni yang orang lain unggah di internet tanpa izin, yang kemudian dataset tersebut dikumpulkan untuk melatih AI dengan teknik deep learning agar AI tersebut dapat menghasilkan karya baru. Jika dianalogikan, AI Generatif seperti membuat lukisan, namun lukisan tersebut merupakan kumpulan robekan lukisan-lukisan orang lain yang diambil tanpa izin, lalu disatukan dalam satu kanvas.
Selain pelanggaran hak cipta karena mengambil karya orang lain tanpa izin, AI Generatif juga merupakan kecerdasan buatan yang tak beretika karena proses pembuatannya. Pengguna layanan AI Generatif hanya tinggal menuliskan instruksi tekstual saja dalam pembuatan gambar, sebagai contoh, pengguna dapat menuliskan teks seperti "Buatlah gambar seekor kucing dengan gaya seni Vincent van Gogh", lalu AI Generatif akan memberikan gambar sesuai dengan instruksi dari penggunanya. Penulis merasa hal ini merupakan perbuatan tak beretika, dikarenakan sebuah karya seni yang dihasilkan oleh AI Generatif adalah karya hasil curian tanpa melalui proses serta filosofi yang berarti.
Membuat karya seni rupa bukanlah sesuatu yang mudah, untuk menghasilkan sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi membutuhkan disiplin serta kerja keras selama bertahun-tahun, karya seni bukanlah sesuatu yang bisa lahir dengan instan, karya seni memerlukan proses serta filosofi, hal itulah yang membuat sebuah karya seni bernilai dan bermakna. Selain karena pelanggaran hak cipta, menggunakan AI Generatif merupakan tindakan tak beretika yang tidak menghargai proses terciptanya sebuah karya seni. Oleh karena itu, banyak sekolompok pencipta dan pemegang hak cipta yang menuntut perusahaan pengembangan AI Generatif besar.
Meskipun begitu, masih banyak perdebatan apakah semua AI Generatif melanggar hak cipta, walau nyatanya dataset yang diambil oleh AI Generatif berasal dari situs-situs terbuka secara umum dan tidak digandakan atau dimodifikasi langsung oleh AI Generatif itu sendiri. Di Indonesia sendiri, hukum tentang hak cipta dalam masalah ini masih abu-abu. Di Indonesia terdapat Undang-Undang Republik Indonesia no. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) masih berlaku, Undang-Undang tersebut memiliki aturan-aturan yang terkait dengan perlindungan hak cipta. Namun pada saat UUHC diundangkan, AI Generatif masih belum ada, atau mungkin namanya masih belum naik ke permukaan.
Sayangnya, kesadaran akan rendahnya etika pada penggunaan AI Generatif masih cukup rendah di kalangan masyarakat. Masih banyak influencer dan figur publik, baik itu perorangan atau kelompok yang masih menggunakan AI Generatif, contohnya pada kasus poster film "Pasutri Gaje" tahun 2023 lalu yang memakai AI Generatif, hingga baru-baru ini menjelang tahun pemilu 2024, pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Prabowo-Gibran, juga menggunakan AI Generatif untuk berkampanye melalui baliho-balihonya. Hal tersebut tentu saja menuai banyak kritikan dan kecaman, apalagi dari seniman yang bergelut di bidang seni digital.
Edukasi pada masyarakat diperlukan agar penggunaan AI Generatif tidak disalahgunakan apalagi dimonetisasikan. Selain mengancam hak cipta seorang seniman, AI Generatif juga dapat menimbulkan fitnah , hoax, hingga pornografi. Contohnya seperti kasus penyanyi papan atas asal Amerika Serikat, Taylor Swift, yang fotonya sempat viral di media sosial X. Foto tersebut merupakan foto Taylor berpakaian serta berpose vulgar di sebuah permainan American Football, foto tersebut telah mencapai jutaan penayangan di media sosial X (The Guardian, 2024). Namun, foto tersebut adalah foto palsu yang dibuat dengan teknologi AI Generatif. Foto atau video orang asli yang dibuat sepenuhnya oleh teknologi AI biasa disebut dengan deepfake. Deepfake memiliki potensi untuk disalahgunakan dalam bentuk penipuan, hoax, dan pornografi.
Kesimpulan
Teknologi kecerdasan buatan memanglah teknologi yang memiliki banyak potensi untuk mempermudah pekerjaan manusia, ada banyak kemungkinan beberapa tenaga kerja di masa depan akan sepenuhnya digantikan oleh AI. Contohnya seperti robot untuk pekerjaan rumah tangga, hotel, restoran, perawatan kesehatan, dan bot virtual. Dengan memanfaatkan dan mengembangkan teknologi kecerdasan buatan, tentu akan membuat pekerjaan menjadi semakin mudah. Namun perlu diingat, dibalik semua keuntungan menggunakan teknologi AI, terdapat pula banyak ancaman yang diberikan oleh teknologi AI itu sendiri. Contohnya seperti ancaman pelanggaran hak cipta, fitnah, penyebaran hoax, penipuan, hingga pornografi menggunakan deepfake.
Meski masih menimbulkan banyak perdebatan, menggunakan teknologi AI untuk membuat karya seni rupa merupakan sebuah tindakan tidak beretika. Mengingat pengembang teknologi AI Generatif banyak menggunakan dataset dari karya seni orang lain tanpa izin untuk melatih AI-nya untuk membuat gambar generatif. Meskipun jika dataset itu diambil secara legal, membuat lukisan hanya dengan menggunakan kalimat perintah (prompt), tidaklah beretika dan tidak bisa disebut sebagai karya seni. Karya seni sejatinya dibuat oleh tangan seniman yang melibatkan pengorbanan waktu, ungkapan perasaan, serta filosofi yang tersirat. Karya seni bukanlah barang murahan yang dapat dengan mudah didapatkan dengan hanya memasukkan kalimat perintah ke dalam sebuah AI Generatif.
Penulis tidak menentang perkembangan teknologi kecerdasan buatan, perkembangan teknologi adalah suatu hal yang tidak bisa kita hindari dan harus kita terima serta adaptasi. Kecerdasan buatan sangatlah dibutuhkan untuk kemudahan dan perkembangan umat manusia. Namun penulis hanya ingin mengingatkan bahwasannya teknologi AI memiliki potensi sangat besar untuk merugikan manusia dalam berbagai aspek. Kecerdasan buatan bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi AI dapat mempermudah kehidupan, di sisi lain AI juga dapat mempersulit atau bahkan menghancurkan kehidupan manusia.
Pendiri Tesla dan Space-X, Elon Musk, mengatakan bahwa AI memiliki potensi untuk menghancurkan peradaban;
“AI is more dangerous than, say, mismanaged aircraft design or production maintenance or bad car production, in the sense that it is, it has the potential — however small one may regard that probability, but it is non-trivial — it has the potential of civilization destruction,” (Fox News, 2023)
Daftar Pustaka
- Abadi, T.W. (2016). Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika, 4 (2), 187-204. (https://kanal.umsida.ac.id/index.php/kanal/article/view/1630)
- Firdaushi, A. (2023). Etika Digital dalam Artificial Intelligence. (https://www.researchgate.net/profile/Azmi-Firdhausi/publication/369595701_ETIKA_DIGITAL_DALAM_ARTIFICIAL_INTELLIGENCE/links/64240e4e66f8522c38e060e4/ETIKA-DIGITAL-DALAM-ARTIFICIAL-INTELLIGENCE.pdf)
- Thadeus, C. (2024). Pelindungan Hak Cipta Atas Karya-Karya Seni Yang Digunakan Sebagai Dataset Bagi Generative Artificial Initelligence (AI Generatif). (http://repository.uki.ac.id/14004/)
- Arifah, I.D.C., Wijaya, M.I., Sholihah, S.M. (2022). Job Replacement Artificial Intelligence di Industri Jasa: Tinjauan Pustaka Sistematis, 10 (3), 911-929. (https://journal.unesa.ac.id/index.php/jim/article/view/18691/8455)
- Montgomery, B. (2024). Taylor Swift Images Prompt US Bill to Tackle Nonconsensual, Sexual Deepfakes. The Guardian. (https://www.theguardian.com/technology/2024/jan/30/taylor-swift-ai-deepfake-nonconsensual-sexual-images-bill)
- Duffy, C. (2023). Elon Musk Warns AI Could Cause 'Civilization Destruction' Even as He Invest in It. CNN. (https://edition.cnn.com/2023/04/17/tech/elon-musk-ai-warning-tucker-carlson/index.html)
Komentar
Posting Komentar